Minggu, 31 Oktober 2010





Tugas Tindak Lanjut PPSPPT 2010

Studentsite adalah suatu jaringan internet yang di pergunakan oleh mahasiswa/i Gunadarma University. Situs ini sangatlah bermanfaat bagi mahasiswa/i Gunadarma University. Dengan adanya Studentdite ini mahasiswa memperoleh banyak informasi dari Gunadarma. Mahasiswa dapat memperoleh informasi tentang BAAK, jadwal kuliah, kalender akademik, pendaftaran lomba, rangkuman nilai, bermacam-macam blog, lecture message, bebas perpustakaan, surat keterangan, informasi absensi, informasi seminar, tugas dan tugas (portofolio), deposit library, dan warta warga.

Namun di dalam situs Studentsite pasti ada kekurangannya yaitu terkadang tidak semua user mendapatkan message suatu informasi dari Gunadarma University ini dan suka terjadi kerusakan jaringan yang menyebabkan mahasiswa/i sulit untuk membuka situs ini.

http://studentsite.gunadarma.ac.id/

Sabtu, 30 Oktober 2010

contoh studi kasus individu


Kasus Penyalahgunaan Narkoba Khususnya pada Remaja

Selasa, 18-12-2007 11:06:52 oleh: Yanen Dwimukti Wibowo
Kanal: Remaja
Sebagai peralihan dari masa anak menuju ke masa dewasa, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kesulitan dan gejola, baik bagi remaja sendiri maupun bagi orang tuanya. Seringkali karena ketidaktahuan dari orang tua mengenai keadaan masa remaja tersebut ternyata mampu menimbulkan bentrokan dan kesalahpahaman antara remaja dengan orang tua yakni dalam keluarga atau remaja dengan lingkungannya.
Hal tersebut di atas tentunya tidak membantu si remaja untuk melewati masa ini dengan wajar, sehingga berakibat terjadinya berbagai macam gangguan tingkah laku seperti penyalahgunaan zat, atau kenakalan remaja atau gangguan mental lainnya. Orang tua seringkali dibuat bingung atau tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan anak remajanya dan ini menambah parahnya gangguan yang diderita oleh anak remajanya.
Untuk menghindari hal tersebut dan mampu menentukan sikap yang wajar dalam menghadapi anak remaja, kita sekalian diharapkan memahami perkembangan remajanya beserta ciri-ciri khas yang terdapat pada masa perkembangan tersebut. Dengan ini diharapkan bahwa kita (yang telah dewasa) agar memahami atas perubahan-perubahan yang terjadi pada diri anak dan remaja pada saat ia memasuki masa remajanya. Begitu pula dengan memahami dan membina anak/remaja agar menjadi individu yang sehat dalam segi kejiwaan serta mencegah bentuk kenakalan remaja perlu memahami proses tumbuh kembangnya dari anak sampai dewasa.
  
Beberapa Ciri Khas Masa Remaja
• Perubahan peranan
Perubahan dari masa anak ke masa remaja membawa perubahan pada diri seorang individu. Kalau pada masa anak ia berperan sebagai seorang individu yang bertingkah laku dan beraksi yang cenderung selalu bergantung dan dilindungi, maka pada masa remaja ia diharapkan untuk mampu berdiri sendiri dan ia pun berkeinginan mandiri. Akan tetapi sebenarnya ia masih membutuhkan perlindungan dan tempat bergantung dari orang tuanya. Pertentangan antara keinginan untuk bersikap sebagai individu yang mampu berdiri sendiri dengan keinginan untuk tetap bergantung dan dilindungi, akan menimbulkan konflik pada diri remaja. Akibat konflik ini, dalam diri remaja timbul kegelisahan dan kecemasan yang akan mewarnai sikap dan tingkah lakunya. Ia menjadi mudah sekali tersinggung, marah, kecewa dan putus asa.
• Daya fantasi yang berlebihan
Keterbatasan kemampuan yang ada pada diri remaja menyebabkan ia tidak selalu mampu untuk memenuhi berbagai macam dorongan kebutuhan dirinya.
• Ikatan kelompok yang kuat
Ketidakmampuan remaja dalam menyalurkan segala keinginan dirinya menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat untuk berkelompok. Dalam kelompok, segala kekuatan dirinya seolah-olah dihimpun sehingga menjadi sesuatu kekuatan yang besar. Remaja akan merasa lebih aman dan terlindungi apabila ia berada di tengah-tengah kelompoknya. Oleh karena itu ia berusaha keras untuk dapat diakui oleh kelompoknya dengan cara menyamakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada dalam kelompoknya. Rasa setia kawan terjalin dengan erat dan kadang-kadang menjurus ke arah tindakan yang membabi buta.
 • Krisis identitas
Tujuan akhir dari suatu perkembangan remaja adalah terbentuknya identitas diri. Dengan terbentuknya identitas diri, seorang individu sudah dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan: siapakah, apakah saya mampu dan dimanakah tempat saya berperan. Ia telah dapat memahami dirinya sendiri, kemampuan dan kelamahan dirinya serta peranan dirinya dalam lingkungannya. Sebelum identitas diri terbentuk, pada umumnya akan terjadi suatu krisis identitas. Setiap remaja harus mampu melewati krisisnya dan menemukan jatidirinya.

Berbagai Motivasi Dalam Penyalahgunaan Obat
• Motivasi dalam penyalahgunaan zat dan narkotika ternyata menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu (motivasi individual) yang mengenai aspek fisik, emosional, mental-intelektual dan interpersonal.
• Di samping adanya motivasi individu yang menimbulkan suatu tindakan penyalahgunaan zat, masih ada faktor lain yang mempunyai hubungan erat dengan kondisi penyalahgunaan zat yaitu faktor sosiokultural seperti di bawah ini; dan ini merupakan suasana hati menekan yang mendalam dalam diri remaja; antara lain:
1. Perpecahan unit keluarga misalnya perceraian, keluarga yang berpindah-pindah, orang tua yang tidak ada/jarang di rumah dan sebagainya.
2. Pengaruh media massa misalnya iklan mengenai obat-obatan dan zat.
3. Perubahan teknologi yang cepat.
4. Kaburnya nilai-nilai dan sistem agama serta mencairnya standar moral; (hal ini berarti perlu pembinaan Budi Pekerti – Akhlaq)
5. Meningkatnya waktu menganggur.
6. Ketidakseimbangan keadaan ekonomi misalnya kemiskinan, perbedaan ekonomi etno-rasial, kemewahan yang membosankan dan sebagainya.
7. Menjadi manusia untuk orang lain.

Adanya faktor-faktor sosial kultural seperti yang dikemukakan di atas akan mempengaruhi kehidupan manusia dan dapat menimbulkan motivasi tertentu untuk mamakai zat. Pengaruh ini akan terasa lebih jelas pada golongan usia remaja, karena ditinjau dari sudut perkembangan, remaja merupakan individu yang sangat peka terhadap berbagai pengaruh, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya atau lingkungan.

Individu, Keluarga dan Masyarakat

Individu, Keluarga dan Masyarakat
Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang hidup dalam kelompok dan mempunyai organisme yang terbatas di banding jenis mahluk lain ciptaan Tuhan. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan organisasinya itu, menusia mengembangkan sistem-sistem dalam hidupnya melalui kemampuan akalnya seperti sistem mata pencaharian, sistem perlengkapan hidup dan lain-lain.Manusia sebagai makhluk individu. Individu berasal dari kata latin “individuum” artinya yang tidak terbagi, maka kata individu merupakan sebutan yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan.
Pertumbuhan Individu
Perkembangan manusia yang wajar dan normal harus melalui proses pertumbuhan dan perkembangan lahir batin. Dalam arti bahwa individu atau pribadi manusia merupakan keselurhan jiwa raga yang mempunyai cirri-ciri khas tersendiri. Walaupun terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli, namun diakui bahwa pertumbuhan adalah suatu perubahan yang menuju kearah yang lebih maju, lebih dewasa. Konsep aliran sosiologi tentang pertumbuhan menganggap pertumbuhan itu adalah proses sosialisasi yaitu proses perubahan dari sifat mula-mula yang asosial atau juga sosial kemudian tahap demi tahap disosialisasikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan:
1. Pendirian Nativistik. Menurut para ahli dari golongan ini berpendapat bahwa pertumbuhan itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir
2. Pendirian Empiristik dan environmentalistik. Pendirian ini berlawanan dengan pendapat nativistik, mereka menganggap bahwa pertumbuhan individu semata-nmata tergantung pada lingkungan sedang dasar tidak berperan sama sekali.
3. Pendirian konvergensi dan interaksionisme. Aliran ini berpendapat bahwa interaksi antara dasar dan lingkungan dapat menentukan pertumbuhan individu.

KELUARGA DAN FUNGSINYA DIDALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat terkecil yang sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini dalam hubungannya dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahrikan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Koentjaraningrat membedakan 3 macam keluarga luas berdasarkan bentuknya :
1. keluarga luas utrolokal, berdasarkan adapt utrolokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih/inti anak laki-laki maupun anak perempuan
2. keluarga luas viriolokal, berdasakan adapt viriolokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga inti dari anak-anak lelaki
Keluarga luas uxorilokal, berdasarkan adapt uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-keuarga batih/inti anak-anak perempuan.
Macam-macam fungsi keluarga adalah
1. Fungsi biologis
2. Fungsi Pemeliharaan
3. Fungsi Ekonomi
4. Fungsi Keagamaan
5. Fungsi Sosial

MASYARAKAT SUATU UNSUR DARI KEHIDUPAN MANUSIA
Masyarakat adalah suatu istilah yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari, ada masyarakat kota, masyarakat desa, masyarakat ilmiah, dan lain-lain. Dalam bahas Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan” istilah masyarakat itu sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu Syaraka yang berarti “ ikut serta, berpartisipasi”.
Dalam perkembangan dan pertumbuhannya masyarakat dapat digolongkan menjadi :
1. Masyarakat sederhana. Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitive) pola pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin.
2. Masyarakat Maju. Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelomok sosial, atau lebih dikenal dengan sebuatan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai. Dalam lingkungan masyarakat maju, dapat dibedakan 
A.Masyarakat non industri
B. Masyarakat industri


Pemuda Dan Sosiolisasi
  Pemuda adalah golongan manusia manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan kearah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung, pemuda di Indonesia dewasa ini sangat beraneka ragam, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan pendidikan. Keragaman tersebut pada dasarnya tidak mengakibatkan perbedaan dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda. Proses berlangsungnya sama yaitu melalui interaksi sosial. istilah internasilasasi lebih ditekankan pada norma-nroma individu yang menginternasilasikan norma-norma tersebut. Istilah belajar ditekankan pada perubahan tingkah laku, yang semula tidak dimiliki sekarang telah dimiliki oleh seorang individu. istilah spesialisasi ditekankan pada kekhususan yagn telah dimiliki oleh seorang individu, kekhususan timbul melalui proses yang agak panjang dan lama.

Jumat, 08 Oktober 2010

Contoh Studi Kasus

Situasi Umum
Anak jalanan adalah “seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menggunakan atau menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan kegiatan di jalan untuk mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya
Keberadaan anak jalanan telah menjadi fenomena global. Seorang pejabat UNICEF memperkirakan ada sekitar 100 juta anak jalanan di dunia. Di Asia, menurut perkiraan Childhope Asia, sebuah NGO yang berbasis di Philipina, memperkirakan ada sekitar 25-30 juta anak jalanan (Chaturvedi, 1994). Di Indonesia, Anwar dan Irwanto (1998) dalam analisis situasi mengenai anak jalanan, mengutip data Departemen Sosial yang menunjukkan ada sekitar 50,000 anak jalanan. Banyak pihak, termasuk keduanya meyakini besaran jumlah anak jalanan jauh di atas perkiraan tersebut. Terlebih bila dikaitkan dengan terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat sekitar 400% (Kompas, 4 Mei 1998). Berbagai perkiraan yang dilansir berbagai pihak berkisar antara 50,000-170,000 anak jalanan.
Informasi mengenai kehidupan anak jalanan di manapun menggambarkan situasi buruk yang harus dihadapi anak jalanan. Berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi hingga penghilangan nyawa secara paksa menjadi bagian dari kehidupan mereka. Stigmatisasi publik menyebabkan mereka terisolasi atau mengisolasi diri sehingga tumbuh “nilai-nilai baru” yang boleh jadi sangat bertentangan dengan “nilai-nilai umum”.  Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan hukum, menurut Nusa Putra (1994) justru meletakkan kegiatan anak jalanan sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Keseluruhan situasi yang dihadapi berakibat terhambatnya perkembangan kapasitas anak baik secara fisik, mental, dan sosial.
Berdasarkan situasi yang dialami anak jalanan, UNICEF mengelompokkan anak jalanan ke dalam kelompok anak yang mengalami situasi sulit atau anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Upaya perlindungan terhadap anak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan lahirnya Konvensi Hak-hak Anak yang diadposi oleh PBB pada tahun 1989. Indonesia diketahui turut menandatangani dan meratifikasi KHA tersebut melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia terikat secara yuridis (dan politis) untuk mengimplementasikan KHA. Namun sejauh mana efektivitas program pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan KHA, masih menjadi bahan pertanyaan. Terlebih bila dispesifikkan untuk kepentingan anak jalanan.
Selintas Anak Jalanan Semarang
Keberadaan anak jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat itu hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian berkembang menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo, Simpang Lima, Karang Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan menjadi 20 kawasan (PSW Undip, 1998). Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan PKPM Atmajaya pada tahun 1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar luas menjadi 208 titik.
Aksi menentang kekerasan terhadap anak jalanan di Balai Kota Semarang, Juli 1998. Aksi anak jalanan yang didukung oleh Forum pembela dan Penegak Hak Anak (FPPHAN) yang merupakan gabungan dari komponen masyarakat sipil. (Dok. Yayasan Setara)
Perkembangan lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS pada tahun 1996 memperkirakan jumlah anak jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700 anak. Pada masa krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara 1,500-2,000 (lihat Tabloid Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan Depsos-PKPM Atmajaya, 1999)
Berdasarkan daerah asal, telah terjadi pergeseran yang perlu dicermati. Pada tahun 1994, prosentase anak yang berasal dari luar kota masih lebih besar, yaitu 53%. Pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan anak jalanan dari dalam kota semakin besar dan menjadi dominan.  Berdasarkan data anak yang difasilitasi oleh Yayasan Setara pada tahun 2000, dari 223 anak di tiga kawasan, 85% dari mereka berasal dari dalam kota Semarang sendiri dan 34% diantaranya justru tinggal di jalanan. Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal yaitu; bangunan kosong, los pasar, emperan toko, taman atau lapangan, gerbong, pos jaga, halte dan bus rusak.
Meningkatnya jumlah anak jalanan terutama yang berasal dari kota Semarang sendiri menyebabkan terjadinya perubahan yang besar dalam kehidupan anak jalanan, yaitu;
  • Lokasi kegiatan anak jalanan semakin meluas
  • Mulai terjadi penguasaan wilayah
  • Anak jalanan yang berasal dari luar kota semakin tersisih dan cenderung pindah ke kota lain
  • Proses inisiasi yang penuh nuansa kekerasan mulai muncul
  • Munculnya berbagai kegiatan baru untuk mendapatkan uang seperti lap mobil/ motor dan dominannya kegiatan mengemis yang pada tahun sebelumnya menjadi bahan ejekan sesama anak jalanan.
  • Meningkatnya tindakan kriminal
Mencermati perkembangan situasi anak jalanan beberapa tahun belakangan ini, Yayasan Setara mengidentifikasikan beberapa masalah yang menonjol, yaitu

Kekerasan terhadap anak jalanan
Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie –peny.; 1997). Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Warga Semarang mungkin masih teringat kasus penyerangan dan pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September 1997). Setelah mengalami nasib buruk, anak-anak jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban kekerasan oleh negara melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang yang melarang PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998). Kasus kekerasan yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala di mana dua anak perempuan menjadi korban perkosaan kelompok tersebut (Aliansi; 2000).

Kekerasan dan eksploitasi seksual
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (lihat misalnya; Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).
Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Pada tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Shalahuddin, 2000b). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999), pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring pada periode Januari-Juni 2000, Yayasan Setara mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.;  2000a). Kasus pornografi terhadap anak jalanan diduga juga terjadi. Namun sejauh ini belum ada data-data yang mengungkapkan hal tersebut.

Seks bebas dan Perilaku seksual usia dini
Seks bebas telah diketahui publik menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan. Berbagai hasil penelitian anak jalanan yang ada semakin memperkuat pandangan semacam itu. Di Semarang, seks bebas sesama anak jalanan juga terjadi. YDA (1997) dalam penelitiannya melaporkan bahwa 31% anak jalanan Semarang pernah melakukan hubungan seksual dan cenderung berganti-ganti pasangan. Laporan penelitian Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) mengungkapkan bahwa dari 46 anak jalanan perempuan, 38 anak (67,8%) telah memiliki pengalaman seksual. 27 anak diantaranya memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dan 26 anak diindikasikan berada dalam prostitusi.
Berdasarkan pengalaman selama berinteraksi dengan anak jalanan biasanya anak yang memiliki pengalaman seksual berumur 15 tahun ke atas. Namun, berdasarkan hasil monitoring dan investigasi Yayasan Setara pada awal tahun 2001, di salah satu kawasan  mulai muncul perilaku seksual aktif pada usia dini, yaitu di bawah 14 tahun. Setara mencatat ada 12 pasangan, dan satu pasangan diantaranya  masih memiliki hubungan sedarah.
Perilaku seks bebas menyebabkan anak jalanan rentan terhadap ancaman terinveksi PMS dan HIV/AIDS dan bagi anak jalanan perempuan resiko kehamilan menjadi tinggi. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara pada tahun 1999-2000 menjumpai 20 kasus anak terkena PMS dan beberapa diantaranya sudah parah. Sedangkan tingkat kehamilan anak jalanan perempuan cenderung mengalami peningkatan. Data yang tercatat, pada tahun 1999 diketahui 6 anak mengalami kehamilan dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 8 anak. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh anak untuk menggugurkan kandungannya seperti, minum pil, pijat, jamu, dipukul-pukul perutnya dan berbagai cara yang tidak aman bagi mereka.
Penggunaan drugs
Sebagian besar anak jalanan telah mengkonsumsi minuman keras, pil dan zat-zat adiktif lainnya secara rutin. Ini tidak terbatas pada anak jalanan laki-laki saja melainkan juga anak perempuan. Penelitian Setara (2000) mengungkapkan 62,5% anak jalanan perempuan mengkonsumsi minuman keras dan pil. Menurut Huijben (1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsi karena dianggap sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu sebagian anak menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
Ada berbagai cara bagi mereka untuk mendapatkan drugs, seperti membeli, meminta, diberi dan merampas. Pada beberapa kasus,  anak mencoba mencari barang-barang yang murah, misalnya mengkonsumsi kecubung dan menghisap lem aica aibon. Mengenai penggunaan lem, berdasarkan pengamatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1997 terutama di kawasan Poncol. Dibandingkan dengan Bandung, jakarta dan Yogyakarta, yang menyebar dengan cepat ke berbagai lokasi anak jalanan, penyebaran di Semarang tidak cepat meluas. Hanya saja, sejak tahun 2000, penggunaan lem ini sudah menyebar di kawasan Simpang Lima dan pada tahun 2001 menyebar ke kawasan Tugu Muda.
Tindakan kriminal
Tindakan kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani. Sebagai contoh, bila sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan, kini mereka sudah berani melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke masyarakat. Mengamati pemberitaan media massa, sejak tahun 2000 kerapkali diberitakan adanya anak jalanan yang ditangkap akibat melakukan tindakan kriminal.
Kegiatan ini tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat persaingan yang tinggi sesama anak jalanan untuk mendapatkan uang sehingga mereka lebih mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan kriminal yang dinilai lebih banyak menghasilkan.
Respon yang Muncul
Sejauh informasi yang diketahui, respon terhadap anak jalanan Semarang untuk pertama kalinya dilakukan oleh seorang pekerja sosial yang bekerja secara personal, Winarso, pada akhir tahun 1993. Program sistematis baru dilaksanakan pada tahun 1996 oleh tim pelaksana “Semarang Street Kids Project” yang pada perkembangannya terlembagakan menjadi Yayasan Setara. Melalui program ini berhasil terbentuk kelompok anak jalanan yang dikenal dengan nama Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS).
Sejak tahun 1997, mulai bermunculan pihak-pihak yang peduli dengan anak jalanan, beberapa diantaranya, sekedar menyebutkan nama,  adalah Yayasan Duta Awam (YDA), Forum Kerjasama Pemerhati Anak jalanan Semarang (FKPAJS), Kelompok Sosial “Garam”, Yayasan Sosial Soegijopranoto (YSS), dan Kelompok sosial “SOLID”. Sedangkan lembaga perguruan tinggi yang terlihat intensif memberikan perhatian kepada anak jalanan yaitu Pusat Studi Wanita dan Gender Universitas Diponegoro. Pada saat ini tampaknya telah semakin banyak NGO, perguruan tinggi, dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang peduli dan melaksanakan program untuk anak jalanan.
Sedangkan respon dari pemerintah bisa dikatakan sangat lambat. Ketika issue anak jalanan mulai tumbuh di Semarang pada pertengahan tahun 1996, sikap pejabat negara justru menunjukkan kecurigaan yang tinggi terhadap pihak-pihak yang bekerja bersama anak jalanan. Perubahan mulai tampak ketika pada awal tahun 1998 Departemen Sosial melaksanakan proyek uji-coba bagi penanganan anak jalanan di 12 kota, termasuk Semarang. Proyek ini mendapat dukungan dana dari UNDP. Pada tahun 1999, ADB juga memberikan pinjaman untuk program anak jalanan. Perkembangan lain, pemerintah dalam APBN dan APBD mulai mengalokasikan dana untuk anak jalanan.
Secara umum, program-program yang dilaksanakan masih bersifat karitatif dengan menempatkan anak sebagai obyek, seperti pemberian makan, bantuan kost untuk anak, pemberian modal usaha, kursus ketrampilan, pelayanan kesehatan, pendidikan Paket A dan B, pemberian beasiswa dan sebagainya. Model pendekatan semacam ini pada akhirnya tidak tepat sasaran dan cenderung memunculkan ketergantungan anak. Pada sisi yang lain, sejauh ini institusi yang bergerak dengan menggunakan perspektif hak-hak anak masih sedikit. Tentu saja kenyataan ini belum mendukung penuh upaya penegakan hak-hak anak yang menempatkan anak sebagai manusia utuh.
Selintas Pengalaman Bekerja Bersama Anak Jalanan

Program yang dilaksanakan Yayasan Setara merupakan kelanjutan dari kerja personal seorang pekerja sosial sejak tahun 1993 yang kemudian berkembang menjadi tim kerja pada tahun 1996 melalui “Semarang Street Kids Project” yang mendapat dukungan dana dari Terre des Hommes Germany. Sejak Agustus 2000, program ini dilengkapi dengan program “Basic Sosial Services” yang dilaksanakan oleh 7 NGO atas dukungan dana dari NOVIB Netherland. Pengalaman yang diungkap secara ringkas berupaya untuk mencakup kedua program tersebut.
Dasar kerja Yayasan Setara bersandarkan pada Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen internasional yang berhubungan dengan anak (jalanan). Dengan demikian, dalam setiap program Yayasan Setara berupaya untuk melaksanakan prinsip dasar KHA, yaitu Memberikan yang terbaik bagi anak, non-diskriminasi, Memberikan perlindungan dan Menghargai opini anak (partisipasi).
Program diarahkan bagi upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan anak jalanan. Upaya pencegahan dimaksudkan agar anak-anak yang dinilai rentan menjadi anak jalanan tidak terdorong/didorong menjadi anak jalanan. Dalam konteks ini, sasaran yang dituju adalah anak-anak di daerah perkampungan miskin Semarang yang menjadi basis anak jalanan.
Pendekatan yang digunakan adalah community based dengan prioritas utama melibatkan para orangtua anak. Upaya perlindungan dimaksudkan agar anak tidak menjadi korban berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi. Sasaran kegiatan adalah anak jalanan, komunitas jalanan, dan publik. Sedangkan upaya pemulihan dimaksudkan agar anak dapat mengembangkan kapasitasnya dan dapat keluar dari dunia jalanan.
Pendekatan program yang digunakan adalah street based, center based dan community based. Sedangkan pola hubungan yang digunakan para pendamping dengan anak adalah pendekatan informal yang menitikberatkan pada upaya membangun hubungan perkawanan sehingga tercipta hubungan antar subyek dengan menjadikan masalah sebagai obyeknya. Para pendamping berbaur dan turut merasakan dan melalui kehidupan bersama mereka.
Sejak July 1996-December 2000, total kumulatif anak yang terfasilitasi dalam program Yayasan Setara sekitar 600 anak jalanan berumur di bawah 18 tahun yang berada di tiga kawasan yaitu Kawasan Tugu Muda, Pasar Johar dan Simpang Lima.
Beberapa kegiatan yang dijalankan, diantaranya yaitu;

Pelayanan langsung

  • Fasilitasi rumah singgah dan shelter
  • Pendidikan hadap masalah, hak anak dan kesehatan
  • Mendorong anak pulang
  • Perlindungan
  • Pelayanan kesehatan
  • Mempersiapkan masa depan anak

Kampanye dan membangun support system

  • Penyelenggaraan diskusi/seminar
  • Dialog dengan Pemda, DPRD, dan pihak Kepolisian.
  • Membangun dialog antara anak jalanan, pemerintah, DPRD dan Kepolisian
  • Mengembangkan Forum Orangtua anak
  • Monitoring kekerasan terhadap anak jalanan
  • Penerbitan
Hambatan dan Tantangan
“Niat baik belum tentu menghasilkan yang terbaik”, demikian petikan puisi dari seorang kawan. Perjalanan pelaksanaan program anak jalanan tidak bisa berlangsung mulus. Hambatan dan tantangan terberat yang harus dihadapi justru sikap dan tindakan dari penyelenggara negara.  Ketika pertengahan tahun 1996 dibuka rumah untuk anak jalanan, berbagai teror harus dihadapi oleh para pekerja sosial, anak-anak jalanan dan pemilik rumah yang disewa. Bentuk teror melalui telpon gelap, penculikan terhadap seorang pekerja sosial, interogasi oleh pihak kepolisian, datangnya orang-orang tak dikenal yang mengancam, hingga perusakan rumah oleh sekelompok orang tak dikenal pada September 1997 yang menyebabkan untuk beberapa tahun diputuskan agar tidak membuka open house/shelter dulu. Pada akhir 1997, ketika rumah sudah tidak digunakan lagi dan ada beberapa orang tewas akibat minuman keras di sekitar bekas shelter, Walikota saat itu langsung menuduh bahwa rumah anak jalanan digunakan untuk bermabuk-mabukan. Di tengah sulitnya melakukan kegiatan secara terbuka, muncul lagi pernyataan dari seorang pejabat pemerintah kota yang melarang PAJS untuk melakukan kegiatan karena dianggap sebagai organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998).
Penutup
Demikian selintas situasi anak jalanan dan pengalaman penanganannya yang dilakukan oleh Yayasan Setara. Semoga informasi ini dapat berguna dan dapat memunculkan inspirasi dari Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro untuk turut memikirkan upaya penanganan anak jalanan dan mendorong keterlibatan para psikolog untuk bekerja bersama anak jalanan. Saya yakin, tentunya itu akan sangat berguna bagi upaya transformasi kehidupan anak jalanan khususnya di Semarang.
Semarang, 4 Mei 2001
Tulisan sebagai bahan sharing dalam acara “Lokakarya Kurikulum Pendidikan Sarjana Psikologi 2001 dan Program Profesi Psikolog”, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Program Studi Psikologi, Ungaran,  4-5 Mei 2001
ILMU SOSIAL DASAR SEBAGAI KOMPONEN MATA KULIAH DASAR UMUM
Ilmu sosial dasar adalah salah satu mata kuliah dasar umum yang merupakan matakuliah wajib yang diberikan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tujuan diberikannya mata kuliah ini adalah semata-mata sebagai salah satu usaha yang diharapkan dapat memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat peduli terhadap masalah – masalah sosial yang terjadi dilingkungan dan dapat memecahkan permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial dasar.

Secara khusus mata kuliah dasar umum bertujuan untuk menghasilkan warga Negara sarjana yang :
  1. Berjiwa Pancasila sehingga segala keputusan serta tindakannya mencerminkan pengamalan nilai-nilai pancasila dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi, yang mendahulukan kepentingan nasional dan kemanusiaan sebagai sarjana Indonesia
  2. Taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya dan memiliki toleransi terhadap pemeluk agama lain
  3. memiliki wawasan komprehensif dan pendekatan integral didalam menyikapi permasalahan kehidupan baik sosial, politik maupun pertahanan keamanan
  4. Memiliki wawasan budaya yang luas tentang kehidupan bermasyarakat dan secara bersama-sama mampu berperan serta meingkatkan kualitassnya, maupun lingkungan alamiahnya dan secara bersama-sama berperan serta didalam
    pelestariannya.

Latar belakang diberikannya ISD adalah banyaknya kritik yang ditujukan pada sistem pendidikan kita oleh sejumlah para cendikiawan, terutama sarjana pendidikan, sosial dan kebudayaan. Mereka menganggap sistem pendidikan kita berbau colonial, dan masih merupakan warisan sistem pendidikan Pemerintah Belanda, yaitu kelanjutan ari politik balas budi yang dianjurkan oleh Conrad Theodhore van Deventer.
Pendidikan tinggi diharapkan dapat menghasilkan sarjana-sarjana yang mempunyai seperangkat pengetahuan yang terdiri atas.
  1. Kemampuan akademis; adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah, baik lisan maupun tulisan, menguasai peralatan analisis, maupun berpikir logis, kritis, sitematis, dan analitis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternative pemecahannya
  2. Kemampuan professional; adalah kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dengan kemampuan ini, para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya.
  3. Kemampuan personal ; adalah kemampuan kepribadian. Dengan kemampuan ini para tenaga ahli diharapkan memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, dan tingkah laku, dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
ilmu sosial dasar adalah usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk menkaji gejala-gejala sosial agar daya tanggap, persepsi , dan penalaran mahaiswa dalam menghadapi lingkungan sosialna dapat ditingkatkan sehingga kepekaan mahasiswa pada lingkugnan sosialnya dapaat menjadi lebih besar.
Masalah sosial adalah suatu kondisi yang mempunyai pengaruh kepada kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai, oleh karena itu dirasakan perlunya untuk diatasi atau diperbaiki.

Penduduk, Masyarakat dan Kebudayaan

Penduduk, dalam pengertian luas diartikan sebagai kelompok organisme sejenis yang berkembang biak dalam suatu daerah tetentu.
Penduduk dalam arti luas itu sering diistilahkan popuasi dan disini dapat meliputi populais hewan, tumbuhan dan juga manusia.
masyarakat adalah suatu kesatuan kehidupan sosial manusia yang menempati wilayah tertentu, yang keteraturannya dalam kehidupan sosialnya telah dimungkinkan karena memiliki pranata sosial yang telah menjadi tradisi dan mengatur kehidupannya.
Dinamika penduduk menunjukkan adanya factor perubahan dalam hal jumlah penduduk yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan penduduk. Penduduk bertambah tidak lain karena adanya unsurr lahir, mati, datang dan pergi dari penduduk itu sendiri.
Pertambahan penduduk dapat dihutung dengan cara : pertambahan penduduk = ( lahir – mati) + ( datang – pergi ).
Unsur penentu dalam pertambahan penduduk adalah tingkat fertilitas dan mortalitas.
Fertilitas adalah tingkat pertambahan anak yang dihitung dari jumlah kelahiran setiap seribu penduduk dalam satu tahun.
Faktor kedua mempengaruhi pertumbuhan penduduk ialah mortalitas atau tingkat kematian secara kasar disebut Crude Date Rate (CDR), yaitu jumlah kematian pertahun perseribu penduduk.
Untuk memproyeksikan penduduk dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Pn = (1 + r) n x Po
Pn = jumlah penduduk yang dicari pada tahun tertentu (proyeksi penduduk)
r = tingkat pertumbuhan penduduk dalam prosen
n = jumlah dari tahun yang akan diketahui
Po = jumlah penduduk yang diketahui apa tahun dasar
Sebagai contoh :
Tahun 1961 jumlah penduduk Indonsia 96 juta, dengan tingkat pertambahan penduduk 2,4 5, berapa penduduk Indonesia tahun 2001 ?
Tahun 2001 penduduk Indonesia ( 1 + 2,4/100 ) 40 x 96 juta = 248 juta.
KOMPOSISI PENDUDUK
Berdasarkan komposisinya piramida penduduk dibedakan atas :
  • Penduduk muda yaitu penduduk dalam pertumbuhan, alasannya lebih besar dan ujungnya runcing, jumlah kelahiran lebih besar dari jumlah kematian
  • Bentuk piramida stasioner, disini keadaan penduduk usia muda, usia dewasa dan lanjut usia seimbang, pyramid penduduk stasioner ini merupakan idealnya keadaan penduduk suatu Negara
  • Piramida penduduk tua, yaitu piramida pendduk yang menggambarkan penduduk dalam kemunduran, pyramid ini menunjukkan bahwa penduduk usia muda jumlanya lebih kecil dibandingkan dengan penduduk dewasa, hal ini menjadi masalah karena jika ini berjalan terus menerus memungkinkan penduduk akan menjadi musnah karena kehabisan. Disini angka kelahiran lebih kecil dibandingkan angka kematian.
PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat.
kebudayaan yang umumnya diperinci menjadi 7 unsur yaitu :
  1. unsur religi
  2. sistem kemasyarakatan
  3. sistem peralatan
  4. sistem mata pencaharian hidup
  5. sistem bahasa
  6. sistem pengetahuan
  7. seni
Bertitik tilah dari sistem inilah maka kebudayaan paling sedikit memiliki 3 wujud antara lain :
  1. wujud sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, norma, peraturan dan sejenisnya. Ini merupakan wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, lokasinya aa dalam pikiran masyarakat dimana kebudayaan itu hidup
  2. kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat
  3. kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia.

KEBUDAYAAN HINDU, BUDHA DAN ISLAM

KEBUDAYAAN HINDU BUDHA 
Pada abad ke-3 dan ke-4 agama Hindu masuk ke Indonesia khususnya ke pulau jawa. Perpaduan atau akulturasi antara kebudayaan setempat dengan kebudayaan Hindu yang berasal dari India itu berlangsung luwes dan mantap.
Sekitar abad ke 5, ajaran Budha atau budhisme masuk ke Indonesia, khususnya ke pulau Jawa. Agama/ajaran budha dapat dikatakan berpandangan lebih maju dari pada hinduisme, sebab Budhisme tidak menghendaki adanya kasta-kasta dalam masyarakat.
Baik penganut hinduisme maupun budhisme melahirkan karya-karya budaya yang bernilai tinggi dalam seni bangunan/arsitektur, seni pahat, seni ukir maupun seni sastra, seperti tercermin dalam bangunan/arsitektur, relief-relief yang diabadikan dalam candi-candi di jawa tengah ataupun jawa timur.

Kebudayaan Islam
Pada abad ke-15 dan ke-16, agama Islam telah dikembangkan di Indonesia, oleh para pemuka-pemuka Islam yang disebut wali sanga. Titik sentral penyebaran agama islam pada abad itu berada di pulau jawa. Sebenarnya agama Islam masuk ke Indonesia khususnya ke pulau jawa jauh sebelum abad ke -15. suatu bukti bahwa awal abad ke-11 sudah ada wanita Islam yang meninggal dan dimakamkan di Kota Gresik.Agama islam berkembang pesat di Indonesia dan menjadi agama yang medapat penganut sebagian besar penduduk indonesia. tak dapat dipungkiri lagi, bahwa kebudayaan islam mewarnai sebagian besar penganutnya di Indonesia. Dengan begitu, agama islam memberi saham yang besar bagi perkembangan kebudayaan dan kepribadian bangsa Indonesia.

KEBUDAYAAN BARAT

Unsur kebudayaan yang juga memberi warna terhadap corak lain dari kebudayaan dan kepribadian bangsa indonesia adalah kebudayaan Barat. Awal kebudayaan barat masuk ke negara tercinta ini ketika kaum kolonialisme/penjajah manggedor masuk ke Indonesia, terutama bangsa Belanda. Mulai dari penguasaan dan kekuasaan perusahaan dagang Belanda (VOC) dan berlanjut dengan pemerintahhan kolonialisme Belanda, tanah air Indonesia telah dijajah selama 350 tahun.

PRANATA SOSIAL DAN INSTITUSIONALISASI

Didalam masyarakat dibedakan adanya : cara atau “usage” kelaziman (kebiasaan) atau “folkways”; tata kelakuan atau “mores”, dan adapt istiadat “costom”.
Usage menunjukkan pada suatu bentuk perbuatan, kekutan mengikatnya sangat lemah bila dibandingkan dengan folkways. Usage lebih menonjol didalam hubungan antar individu didalam masyarakat. Penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, hanya celaan dari individu yang dihubungi.
Folkways diartikan sebagai perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang diikutinya kurang berdasarkan pelikiran dan mendasarkan pada kebiasaan katau tradisi; yang diterjemahkan dengan kelajman atau kebiasaan. Kekuatan pengikatnya lebih besar dari pada usage (cara). Sebagai contoh, anak-anak yang tidak memberikan hormat kepada orang tua sangsinya jauh lebih berat dibandingkan dengan waktu makan bersama mengunyahnya kedengaran oleh orang lain. Folkways menunjukkan pola berperilaku yang diikuti dan diteima oleh masyarakat.